Pilihan Kita Dalam Memilih Pemimpin Ada Pertangungjawaban Di Hadapan Allah

Pilihan Kita Dalam Memilih Pemimpin Ada Pertangungjawaban Di Hadapan Allah



Pilihan Kita Dalam Memilih Pemimpin Ada Pertangungjawaban Di Hadapan Allah


Oleh : Lidus Yardi

Masuk WC saja diatur dalam Islam, apalagi masalah kepemimpinan yang perannya begitu sangat penting bagi kehidupan manusia, khususnya bagi umat Islam dalam menjalankan agamanya.

Dalam sebuah hadis disebutkan: "Pemimpin adalah bayangan Allah di muka bumi. Kepadanyalah berlindung orang-orang yang teraniaya. Jika ia berlaku adil, niscaya baginya ganjaran (pahala) dan rakyatnya hedaklah bersyukur.

Sebaliknya, apabila ia curang (zalim) niscaya dosa baginya dan rakyatnya hendaklah bersabar. Apabila para pemimpin curang (zalim), langit tidak akan menurunkan keberkahannya. Apabila zina merajalela, maka kefakiran dan kemiskinan pun akan merajalela." (HR Ibnu Majah dari Abdullah bin Umar).

Ya, pemimpin adalah bayangan Allah atau wakil Allah di muka bumi. Ia harus mentaati Allah dalam kepemimpinannya. Melalui ketaatannya kepada Allah, maka hukum-hukum Allah bisa ditegakkan dan dengannya keberkahan akan diturunkan. Karena tidak mungkin langit dan bumi menjadi baik dan keberkahan muncul darinya dengan kezaliman dan kemaksiatan.

Di tangan seorang pemimpin antara haq dan batil dipertaruhkan. Sebab itu, memilih dan menghadirkan pemimpin yang baik dan berkualitas menurut ketentuan agama suatu keniscayaan dan harus diperjuangkan. Bila tidak, maka sebaliknya, di tangan pemimpin yang zalim dan jahil kemaksiatan dan kemungkaran akan terjadi.

Sebab itu, setiap pelanggaran dalam memilih pemimpin yang bertentangan dengan ketentuan Islam merupakan kemaksiatan, bahkan pengkhianatan kepada Allah dan rasul-Nya yang akan mendatangkan keburukan bagi kehidupan.

Ada beberapa bentuk pengkhianatan atau kemaksiatan kepada Allah dan rasul-Nya dalam hal memilih pemimpin yang harus kita hindari.

PERTAMA, memberikan amanah kepemimpinan kepada orang yang tak layak memimpin. Allah Ta'la berfirman:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya." (QS An Nisa: 58)

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

"Barangsiapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan kaum muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai daripada orang yg dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR Al Hakim).

Meski hadis di atas tergolong dhaif, tapi pesannya tepat dan maknanya benar. Bahwa yang layak dijadikan pemimpin harus memiliki kualitas dan kapabilitas. Senada dengan itu Umar bin Khattab RA berkata,

"Siapa yang mengangkat seseorang untuk sebuah pekerjaan (jabatan) hanya atas dasar rasa suka dan kedekatan, tanpa ada alasan yg lain selain itu, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasulnya, dan orang-orang mukmin" (HR Ibnu Abi Ad-Dunya).

KEDUA, memilih pemimpin dari kalangan orang-orang kafir atau non-Muslim. Allah Subhaana Wa Ta'ala mengingatkan:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin) dengan meninggalkan orang-orang mukmin." (QS An Nisa: 144).

Mengapa dilarang menjadikan orang kafir menjadi pemimpin? Secara umum telah dijelaskan Allah SWT, bahwa orang kafir itu antara satu dengan yang lainnya saling melindungi (QS Al Maidah: 51), menjadikan agama Islam sebagai bahan ejekan (QS Al Maidah: 57), tidak pernah senang kepada Rasulullah SAW (QS Al Baqarah: 120). Dan, apabila orang kafir dijadikan pemimpin merupakan hujjah bagi Allah untuk menghukum (mengazab) kaum muslimin (QS An Nisa: 144).

KETIGA, memilih pemimpin yang didukung oleh orang-orang kafir, munafik, dan fasik (pelaku dosa besar). Islam tidak saja memerintahkan kepada kita untuk memilih pemimpin mukmin, tapi juga memerintahkan kepada kita memperhatikan siapa orang-orang disekitarnya. Karena hal itu akan berpengaruh kepada kepemimpinannya dan kebijakan yang akan dibuatnya.

Maka, jangankan memilih pemimpin yang akan berpengaruh kepada kehidupan orang banyak, dalam hal mencari pasangan hidup dan teman saja yang tidak ada hubungannya dengan kehidupan orang lain, Islam sangat memberi perhatian, khususnya dalam persoalan akidah.

Salah satu nasihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah:

"Agama seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya." (HR Abu Daud).

Jika memilih teman saja dianjurkan untuk selektif, tentu anjuran itu juga bisa dipakai untuk memerhatikan siapa yang menjadi teman dekat, pendukung, dan orang-orang dibelakang calon pemimpin yang akan dipilih.

Sebab itu, jika ada calon pemimpin yang sama-sama mukmin, maka perhatikan siapa orang terdekat yang menjadi pendukungnya, perhatikan mayoritas orang kafir, munafik, fasik, penentang syariat, penyuka LGBT, Syiah, dan bahkan pendukung PKI berpihak kepada siapa. Ini penting, karena setiap pilihan kita akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah.

Wallahu A'lam

 


Buka juga :

Post a Comment

0 Comments