Sertifikasi Ulama MUI, Tolok Ukurnya Dianggap Belum Jelas

Sertifikasi Ulama MUI, Tolok Ukurnya Dianggap Belum Jelas


Sertifikasi Ulama MUI, Tolok Ukurnya Dianggap Belum Jelas


Majelis Ulama Indonesia (MUI) mencoba `menyediakan` ulama-ulama berkualitas dan nonradikal yang dianggap pantas berdakwah di muka khalayak melalui program standarisasi dai alias sertifikasi ulama.

Melalui program itu, MUI mencoba menyamakan persepsi para dai dan "menyatukan langkah-langkah dakwah" mereka.

Lembaga tersebut berkaca pada Malaysia dan Brunei yang disebut telah menerapkan sistem serupa, dengan memberikan "sertifikat negara" kepada para pendakwah sebelum mereka terjun ke tengah masyarakat.

"Di kita (bisa berdakwah) sebebas-bebasnya. Tapi kan celakanya, bacaan Quran aja belum bisa, menulis Quran juga belum bisa, agama belum bisa, tapi jadi penceramah," kata Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, M. Cholil Nafis, kepada BBC News Indonesia, Rabu (20/11).

Cholil menuturkan bahwa pihaknya kerap menerima laporan masyarakat yang meragukan kualitas sejumlah penceramah yang mereka saksikan di ruang publik.

"Laporan dari masyarakat, bahwa mereka nggak pantas jadi dai. Tapi, karena mereka ngartis , mereka lucu. Tapi kan menjadi salah-salah ngejelasin agama," ungkitnya.

Di samping itu, pihaknya juga bertujuan menyortir gagasan radikal dan liberal yang dirasakan masyarakat, termasuk di kalangan para pendakwah.

"Yang kita tidak mau adalah radikalisme ke terorisme, mengarah kepada destruksi, lalu membenci pada beda agama, membenci kepada berbeda pendapat," kata Cholil.

Ia berharap para ulama yang mengikuti sertifikasi akan memiliki "keseimbangan, tidak ekstrem kanan, tidak ekstrem kiri, tidak radikalisme, juga tidak liberalisme".


Bagaimana cara kerja sertifikasi ulama?

Sebanyak 75 ulama telah mengikuti proses sertifikasi pada gelombang pertama Senin (18/11) lalu.

Kali itu, mereka yang hadir merupakan ulama-ulama senior yang diundang oleh MUI, seperti Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah Fahmi Salim, Kepala Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ) Muchlis Hanafi, hingga pengasuh Pondok Pesantren Baitul Hikmah Depok Hamdan Rasyid.

Ke depannya, dai-dai yang tertarik dapat mendaftarkan diri untuk mengikuti sertifikasi.

"Minimal bacaan Qurannya dia fasih. Yang kedua, bicara di depan umum bisa. Yang ketiga, dia memang aktif keagamaan di masyarakat," tutur Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, M. Cholil Nafis.

Namun, MUI mengaku masih tetap akan menyaring nama, untuk kemudian diundang melakukan sertifikasi, berdasarkan riwayat hidup para pendaftar.

"Lalu kita latih. Bisa dilatih tiga hari, bisa lima hari, bahkan bisa sebulan. Setelah itu ada tesnya di akhir," kata Cholil.

Apabila dai yang bersangkutan lulus dalam tes akhir, mereka akan memperoleh sertifikat dan wajib menandatangani pakta integritas ulama. Setelahnya, dai tersebut dapat kembali berdakwah di tengah masyarakat, tapi kali ini dengan status "direkomendasikan" MUI.

Bagaimana dengan yang tidak lulus?

"Kita nggak akan melarang orang yang nggak dapat sertifikat untuk ceramah, silakan. Cuma MUI tidak secara langsung bertanggung jawab terhadap isi (ceramah) dan orangnya," ujar Cholil.

Sedangkan bagi penceramah yang sudah mendapat sertifikat, MUI mengaku akan bertanggung jawab atas kiprah dakwah mereka, bahkan berhak menegur apabila melenceng dari pakta integritas yang sudah diteken.

"Jika diperlukan, rekomendasinya atau sertifikatnya ditarik kembali oleh MUI."


Kekhawatiran tentang program sertifikasi ulama

Diselenggarakannya program sertifikasi ulama oleh MUI tidak lepas dari pro-kontra.

Maria Ulfah Anshor, yang merupakan Ketua Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI) bidang Pemberdayaan Perempuan, Anak dan Keluarga, menilai urgensi program tersebut perlu dikaji lebih dalam.

Pasalnya, tidak seperti jenis profesi lain yang diemban setelah melewati jenjang pendidikan formal, status keulamaan seseorang belum bisa dinilai karena tidak memiliki tolok ukur yang jelas.

"Sesungguhnya (status) ulama itu adalah pemberian, semacam penghargaan dari masyarakat, menyebut dia ulama karena dia punya keahlian, dia punya keilmuan yang dalam.

"Nah, siapa yang bertugas mensertifikasi keulamaan orang ini? Menurut saya disiplin pendidikannya," ujar Ulfah saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (20/11).

Pendapat Ulfah senada dengan pimpinan majelis Ar Raudhah Surakarta, Habib Novel Alaydrus, yang menilai bahwa sertifikasi ulama dapat menggunakan indikator latar belakang pendidikan yang bersangkutan.

"Jika itu memang lulusan dari pesantren, yang jelas pesantrennya, kemudian juga kalau dia punya majelis, yang jelas majelisnya, dengan tujuan untuk memberikan jaminan ke masyarakat kalau yang berbicara ini betul-betul ulama yang punya keilmuan, maka itu positif-positif saja," kata Novel.

Lebih jauh, Novel menilai semestinya MUI mendefinisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan ulama.


Langkah kurang tepat

"Definisi ulamanya itu apa? Nggak setiap orang berbicara kan ulama. Justru yang jelas tempatnya ulama kan pesantren.

"Kalau sekarang kan liar nih, semua pada ceramah. Artis ceramah, ini ceramah, kemudian sebentar-sebentar buat pendapat di medsos misalnya, siapapun itu dan apapun itu, tapi ndak punya latar belakang pendidikan yang jelas," ungkapnya.

Novel sendiri tidak berencana untuk mendaftarkan dirinya ke dalam program sertifikasi tersebut.

Ketua Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (DMI), Maria Ulfah Anshor, menganggap program sertifikasi ulama sebagai langkah yang kurang tepat.

"Kalau persoalannya adalah pada dai, mungkin yang lebih pas menurut saya bukan sertifikasi dai atau ulama, tapi penguatan kapasitas," kata Ulfah.

Ia menyoroti lemahnya pemahaman agama sejumlah penceramah yang tak jarang berujung pada aksi saling menyalahkan di antara mereka.

"Yang tidak boleh adalah menyesatkan pandangan kelompok lain, atau bahkan berbeda pandangan, kemudian seolah-olah yang pandangannya berbeda dengan dia (itu) salah, dan dia merasa yang paling benar, itu yang sebenarnya berbahaya," ujarnya.

Ironisnya, melalui sertifikasi, dampak itu jugalah yang ia khawatirkan justru akan terjadi.

"Jangan-jangan nanti setelah disertifikasi, lalu dia merasa semuanya dia yang paling benar, yang lain salah. Itu makin berbahaya menurut saya," pungkasnya.


MUI Jabar: Kriteria sertifikasi ulama harus jelas

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat tak keberatan dengan wacana badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pernah mengusulkan sertifikasi untuk ulama. Asalkan, aturan dan kriterianya harus jelas.

"Kalau saya pribadi tidak mempermasalahkan usulan tersebut, asalkan itu tadi kriteria dan segalanya harus jelas," kata Ketua Komisi Fatwa MUI Jabar Salim Umar saat ditemui di kantornya, Jalan Martadinata, Bandung, Rabu (12/9).

Terkait BNPT yang mengaitkan peran ulama dengan ajaran radikal yang berbuah tindak terorisme, menurutnya ilmu agama tidak bisa dengan mudah dikaitkan dengan terorisme.

"Sulit mengaitkan terorisme dengan peran ulama. Kedalaman ilmu agama tidak signifikan kaitannya dengan terorisme," ujarnya.

Dia menegaskan bahwa terorisme sebenarnya bertentangan dengan agama. Justru pelaku terorisme yang selalu mengidentikan dengan Islam adalah salah pandangan terhadap agama.

"Di mata ulama tidak boleh menimbulkan ketakutan masyarakat, hal itu sangat bertentangan dengan agama," ujarnya.

"Kasus bom Masjid di Cirebon misalnya yang sudah jelas dilarang agama, itu kan menimbulkan ketakutan dan keresahan orang banyak," jelasnya.

Jika wacana itu memang benar dicanangkan, dia menilai tolak ukur kriteria utama sertifikasi ulama harus jelas. Misalnya ilmu agama, ilmu pengetahuan, serta pandangan umum melihat suatu masalah.

"Jadi harus jelas kriterianya apa sertifikasi itu, apakah politik ulama, ilmu agamanya, ideologinya, tidak bisa sembarangan," ungkapnya.

Sebagaimana diberitakan, beberapa hari belakangan, banyak kalangan mengkritik isu sertifikasi ulama yang dianggap bersumber dari BNPT. Wacana sertifikasi juga menimbulkan pro kontra di kalangan ulama.


Uu Ruzhanul: Sertifikasi Ulama dari Kemenag Lecehkan Banyak Ulama

Uu Ruzhanul Ulum mengomentari kebijakan Kementerian Agama tentang sertifikasi ulama. Menurut dia, saat Kemenag mengeluarkan rekomendasi 200 mubaligh saja, berbagai persoalan muncul di masyarakat. Kebijakan baru ini pun, akan merugikan banyak ulama. Karena itu, Uu meminta Kementerian Agama mencabut sertifikasi tersebut. Sebab, kebijakan tersebut hanya membuat kegaduhan di masyarakat khususnya di kalangan umat muslim. "Saya keberatan dengan adanya rekomendasi ulama ini. Saya merasa kurang pas dengan apa yang dilakukan Kemenag ini," kata Uu saat dihubungi, Rabu (23/5/2018).

Uu menjelaskan, pemerintah tidak berhak melegitimasi ulama. Berbeda dengan gelar keilmuan dunia seperti untuk sarjana, pengakuan tokoh agama ini berada di tangan masyarakat. "Yang namanya ulama, legitimasinya di tangan umat, masyarakat. Ilmunya diakui, akhlaknya diakui, moralnya diakui, hanya umat yang mengakui," bebernya. Tanpa legitimasi dari pemerintah pun, masyarakat akan tetap menghormati dan mengakui sosok ulama yang mereka yakini. "Tanpa ada sertifikasi dari pemerintah, kalau posisinya sudah seperti itu, spontanitas masyarakat menyebutnya kiai, kalau di Sunda ajengan," katanya. Uu menambahkan, selama ini pemerintah belum berkontribusi besar terhadap perkembangan ulama sehingga tidak layak memberi penilaian seperti dalam kebijakan ini. "Kalau negara mengatur guru, memberi sertifikasi guru, wajar karena memberi gaji," katanya.

"Ini negara memberi gaji juga enggak. Ulama hidupnya segala sendiri. Bikin pesantren sendiri, cari ekonomi keluarga, ngajar juga sendiri. Lalu kenapa pemerintah harus mengatur ulama?" ungkapnya. Uu pun mempertanyakan kriteria Kementerian Agama dalam merekomendasikan ulama. Menurut dia, alasan kebangsaan yang menjadi salah satu pertimbangannya sangatlah tidak tepat. "Dengan nilai kebangsaan, patriotisme, apakah ulama masih diragukan? Para pejuang negara kita dulu itu para kiai, para ulama. KH Hasyim Ashari, KH Zaenal Mustofa," tuturnya. Selain itu, sebagai sosok yang dekat dan sehari-hari berinteraksi dengan ulama, Uu merasakan betul kegundahan para ulama lainnya. Pascamunculnya rekomendasi ini, para ulama selain merasa diragukan karena namanya tidak muncul dalam daftar rekomendasi, tidak sedikit ulama yang dibatalkan undangannya karena tidak terdaftar dalam sertifikasi tersebut. "Sekarang, ulama-ulama yang tidak terdaftar ini merasa dilecehkan. Ulama se-Indonesia ini ada berapa? Miftahul Huda saja setahunnya mencetak 12.000. Tapi lihat orang Kemenagnya ada berapa? Enggak akan cukup," tandasnya. Kompas TV Keduanya menjanjikan untuk mengedepankan produk inovatif dalam proses pembangunan di Jabar.


Buka juga :

Post a Comment

0 Comments